Bori Kalimbuang, Toraja – Memberikan penghormatan yang tinggi kepada jiwa yang telah mati adalah salah satu adat istiadat yang masih dipengang oleh masyarakat Tanah Toraja hingga saat ini.
Bagi masyarakat Toraja, mereka yang telah mati selanjutnya akan memasuki alam kekal yang disebut Puya.
Oleh karenya, kepergian mereka harus dilepas dengan cara yang baik sebagaimana yang diajarkan dalam tradisi mereka yang telah dilakukan secara turun temurun.
Dalam tradisi masyarakat Toraja, penghargaan kepada orang yang telah meninggal dilakukan dengan mengadakan kegiatan perayaan kematian yang disebut dengan Rambu Solo.
Gelaran acara adat Rambu Solo dilaksanakan berdasarkan status sosial orang yang meninggal. Semakin tinggi status sosialnya, maka semakin banyak jumlah hewan yang dikorbankan dan semakin meriah acaranya.
Maka tak heran jika pemerintah setempat kemudian menjadikan acara adat tersebut sebagai salah satu destinasi wisata jika berkunjung ke Tanah Toraja.
Salah satu lokasi pelaksanaan acara adat Rambu Solo di Toraja yang dapat anda kunjungi jika berlibur di Toraja adalah Bori Kalimbuang.
Bori Kalimbuang

Bori Kalimbuang adalah salah satu lokasi pelaksanaan upacara adat kematian Rambu Solo yang ada di Tana Toraja.
Lokasinya tak jauh dari Rante Pao, ibu kota Toraja Utara. Tepatnya di jl. Bori Kecamatan Sesean, Torut.
Jaraknya sekitar 8 Km dari pusat kota dengan waktu tempuh berkisar antara 20 hingga 30 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Sedikit berbeda dengan lokasi pelaksanaan acara Rambu Solo di tempat lain, Bori Kalimbuang memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Berkunjung ke lokasi ini, anda akan di suguhkan dengan pemandangan hamparan bebatuan khas megalit (Menhir) beragam ukuran yang berdiri tegak di area kompleks bori kalimbuang layaknya Stonehenge di Inggris.
Menurut informasi, lokasi pelaksanaan Rambu Solo yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu ini bukanlah tempat biasa.
Acara Rambu Solo yang dilaksanakan di Bori Kalimbuang umumnya merupakan acara adat Rambu Solo tingkat tinggi yang disebut Rapasan Sapurandanan dengan minimal jumlah kerbau yang dikorbankan sebanyak 30 ekor.
Acara tingkat tinggi ini yang hanya digelar oleh bangsawan dan para pemangku adat (Parenge’). Oleh karenanya, tidak mengherankan jika tempat yang satu ini berbeda dengan tempat lainnya.
Bori Kalimbuang sendiri merupakan salah satu tujuan wisata budaya di Tana Toraja yang telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO yang harus dijaga.
Ragam Bangunan di Kompleks Bori Kalimbuang
Tidak hanya menampilkan pemandangan berupa batu-batu yang menjulang tinggi, diarea kompleks juga terdapat beberapa bangunan-bangunan lainnya.
Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan penunjang kegiatan upacara kematian yang diadakan di lokasi tersebut.
Setiap bangunan memiliki fungsi masing-masing yang berbeda satu sama lainnya. Diantara bangunan-bangunan tersebut adalah:
1. Lakkian

Lakkian merupakan bangunan utama dan paling tinggi diantara bangunan-bangunan yang ada di area tersebut.
Bangunan ini berbentu rumah adat Tongkonan yang fungsi utamanya sebagai tempat persemayaman sementara jenazah yang telah meninggal selama upacara kematian berlangsung.
Lakkian terbagi menjadi dua bagian yakni bagian atas berfungsi sebagai tempat jenazah, sedangkan bagian bawah berfungsi sebagai tempat berkumpulnya keluarga yang ditinggalkan.
Meski terbuat dari bahan semi permanen, menurut aturan yang berlaku, bangunan ini tidak boleh dirobohkan meski upacara kematian telah usai.
Bangungan tersebut akan tetap dibiarkan berdiri hingga roboh dengan sendirinya.
2. Langi’

Langi adalah sebuah bangunan kecil berbentuk rumah adat Toraja yang berfungsi untuk menaungi usungan jenazah yang dalam istilah adat disebut sarigan.
Langi’ biasanya dihiasi dengan berbagai macam pernak-pernik serta ukiran-ukiran khas Toraja sehingga terlihat sangat meriah.
3. Bala’ Kayan

Bala’ Kayan adalah sebuah bangunan yang agak tinggi berbentuk panggung yang berfungsi sebagai tempat mengumpulkan daging kerbau yang telah disembeli yang kemudian dibagikan kepada para kerabat dan tamu yang hadir.
Pembagian daging dilakukan secara tertib oleh beberapa orang yang bertugas membagi daging yang disebut To Mantawa.
To Mantawa akan membagikan daging dengan memanggil para nama para penerima daging yang umumnya di kelompokkan berdasarkan status sosialnya.
4. Panggung Tongkonan
Panggung Tongkonan adalah bangunan-bangunan yang dibuat sebagai tempat duduk bagi para tamu yang hadir.
Disetiap panggung Tongkonan biasanya akan dihiasi dengan gigi kerbau yang telah dikorbankan sebelumnya.
Rante Kalimbuang

Didalam kompleks Bori Kalimbuang, terdapat satu area utama tempat berlangsungnya rangkaian acara adat yang disebut dengan Rante Kalimbuang.
Di area ini para pengunjung dapat melihat hamparan batu (menhir) dalam beragam ukuran yang berdiri tegak menjulang keatas.
Jumlah menhir yang ada di area tersebut sebanyak 102 menhir dengan jumlah menhir kecil sebanyak 54 buah, menhir sedang sejumlah 24 buah, dan menhir besar sebanyak 24 buah.
Menhir-menhir tersebut yang dalam bahasa Toraja disebut Simbuang Batu dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga yang telah meninggal.
Mengenal Simbuang Batu “Stonehenge Versi Lokal”

Simbuang batu adalah batu yang dibuat berbentuk memanjang yang diletakkan di area rante kalimbuang sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga yang telah meninggal.
Akan tetapi tidak semua yang telah meninggal dubatkan Simbuang Batu. Simbuang batu hanya diberikan bagi mereka yang mengorbankan setidaknya 24 ekor kerbau.
Menurut perkiraan, simbuang batu pertamakali diletakkan pada tahun 1657 pada prosesi upacara kematian Ne’ Ramba yang dalam upacara kematiannya mengorbankan seratus ekor kerbau.
Ne’ Ramba sendiri adalah salah satu bangsawan sekaligus pemangku adat yang telah mempersatukan para masyarakat adat di kawsan Bori Parinding yang sebelumnya hidup terpisah.
Simbuang Batu selanjutnya didirikan pada tahun 1807 pada upacara kematian Ne’ Padda dengan mengorbankan 200 ekor kerbau dan kembali dibuat dalam upacara kematian Ne’ Lunde dengan mengorbankan 100 ekor kerbau.
Pendiri Simbuang Batu kemudian terus berlanjut setelanya hingga pada pendirian batu terakhir pada tahun 1962 pada upacara kematian Ne’ Lai.
Perlu diketahui, Ukuran batu yang berbeda-beda bukanlah mencerminkan hal yang berbeda pula. Setiap batu memiliki kedudukan yang sama.
Perbedaan ukuran hanya disebabkan dari kondisi pembuatan batu saat itu seperti waktu pembuatan, lokasi pengambilan batu, serta keadaan masyarakat saat itu.
Rekor batu terbesar dan tertinggi didirikan pada upacara kematian Ne’ Kase pada tahun 1935.
Proses Pembuatan Simbuang Batu

Proses pembuatan Simbuang Batu tidaklah semudah yang dibayangkan. Rangkaian ritual sebelum pemahatan, proses pemahatan, hingga penanaman batu dapat menghabiskan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan lamanya.
Dalam proses pembuatannya, seorang ahli pahat yang ditunjuk untuk membuat simbuang batu akan mencari batu yang cocok di daerah pegunungan.
Setelah batu ditentukan, selanjutnya adalah memulai proses pembentukan batu yang didahului dengan ritual peyembelian seekor babi dan kerbau.
Dalam proses pembetukan batu, para ahli pahat atau dalam bahasa torajanya disebut To’mapa hanya menggunakan peratalatan sederhana yakni martil dan pahat.
Oleh karenanya, wajar jika proses pembentukan atau pembuatan Simbuang Batu memakan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi lokasi batu yang dipahat umumnya jauh diatas pegunungan.
Setelah batu selesai dibuntuk, selanjutnya adalah memindahkan batu dari atas gunung ke tempat batu akan diletakkan.
Proses pemindahan batu juga dilakukan secara tradisional yakni dengan ditarik atau digulirkan. Semakin besar batu yang dibuat serta semakin berat medannya maka akan semakin lama proses pemindahan yang dibutuhkan.
Dalam proses pemindahan ini, para pemahat umumnya akan dibantu oleh masyarakat adat secara sukarela sebagai bentuk persatuan antara masyarakat.
Setelah batu tiba di lokasi penancapan, selanjutnya batu kemudian ditancapkan kedalam tanah sedalam sepertiga dari tinggi keseluruhan batu.
Semakin tinggi batu yang dibuat, maka semakin banyak tenaga yang dibutuhkan untuk menancapkan batu tersebut.
Kuburan Batu Liang Pa’

Setelah rangkaian upacara di area Rante Kalimbuang selesai, selanjutnya adalah proses penguburan jenazah.
Tidak jauh dari area prosesi upacara atau rante kalimbuang terdapat area penguburan jenazah yang disebut Liang Pa’.
Berbeda dengan cara penguburan pada umumnya, penguburan jenazah di tempat ini menggunakan batu sebagai tempat menyimpan/mengubur mayat.
Pada batu tersebut dibuat sebuah liang lahat sehingga dapat di gunakan untuk menyimpan jenazah.
Satu liang tidak hanya diisi oleh satu jenazah melainkan diisi oleh satu keluarga besar. Oleh karenanya, liang lahat yang dibuat umumnya berukuran besar.
Selain ukuran liang yang besar, proses pembuatannya pun juga tidak boleh sembarangan. Pembuatannya harus melalui ritual-ritual tertentu seperti mengorbankan hewan, dll.
Kuburan Bayi Passilliran

Selain Liang pa’, di tempat ini juga dapat ditemukan kuburan anak bayi yang disebut Pasilliran. Anak bayi yang belum belum mengeluarkan gigi yang meninggal tidak ikut dikuburkan di Liang Pa’. Akan tetapi bayi tersebut akan dimasukkan kedalam perut pohon tertentu yang cukup besar.
Untuk masyarakat Toraja sendiri mengenal pohon tersebut dengan pohon Tarra.
Demikianlah ulasan singkat mengenai Bori Kalimbuang. Jika anda berkunjung ke Tana Toraja, tidak ada salahnya jika anda mendatangi tempat yang satu ini yang dijamin akan menabah seru perjalanan wisata anda di Tana Toraja.